14 Mei '98, Jakarta Lautan Api

Dokumentasi RCTI

JAKARTA – Peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 ternyata berbuntut panjang dan menyulut emosi warga. Akibatnya, keesokan harinya Jakarta menjadi lautan aksi massa yang terjadi di beberapa titik. Penjarahan dan pembakaran pun tak dapat dihindarkan. Dan tepat hari ini pada 15 tahun lalu (14 Mei), kerusuhan di Jakarta mencapai puncaknya. Jakarta sangat mencekam kala itu.Berdasarkan data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei ‘98 yang dirangkum BERITA BOGOR, para pelaku kerusuhan saat itu terdiri dari dua golongan, yakni massa pasif (pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan provokator yang umumnya bukan dari wilayah setempat. Para provokator tersebut secara fisik tampak terlatih. Mereka berpakaian seadanya. Mereka juga tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga membawa sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya. Titik picu kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya di seputar Universitas Trisakti pada 13 Mei 1998. Sementara pada 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang pukul 08.00 sampai 10.00 WIB. Jika semata-mata dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF berpendapat, faktor pemicu kasus kerusuhan di Jakarta ini ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Akibat kerusuhan massa ini, sejumlah bangunan seperti toko, swalayan, atau rumah rusak dan terbakar. Harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang dagangan, dan barang-barang lain juga dijarah, serta ada pula yang dibakar massa. Sejumlah warga juga terpaksa kehilangan pekerjaan karena gedung atau tempat kerjanya dirusak, dijarah, dan dibakar massa. Ironisnya, mereka yang menjadi korban hanyalah masyarakat biasa. Hingga kini, sulit diketahui angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan tersebut. Untuk kerusuhan di Jakarta saja, sejumlah lembaga memiliki data yang simpang siur satu sama lain. Polda Metro Jaya mencatat sebanyak 451 orang tewas akibat kerusuhan ini. Jumlah tersebut berbeda dengan data yang diperoleh Kodam Jaya yang mencatat 463 meninggal dan Pemprov DKI Jakarta yang merilis ada 288 korban yang tewas. Data tersebut belum termasuk aksi pelecehan seksual dan perkosaan yang dialami sejumlah perempuan etnis tertentu. Dari hasil verifikasi saksi dan korban, TGPF menemukan fakta bahwa koordinasi antara satuan keamanan kurang mamadai, adanya keterlambatan antisipasi, adanya aparat keamanan di berbagai tempat tertentu membiarkan kerusuhan terjadi, ditemukan adanya di beberapa wilayah clash (bentrokan) antarpasukan, dan adanya kesimpangsiuran penerapan perintah dari masing-masing satuan pelaksana. Di beberapa tempat juga didapatkan bukti jasa-jasa keamanan yang dikomersilkan. TGPF pun menemukan adanya kesenjangan persepsi antara masyarakat dan aparat keamanan. Masyarakat beranggapan bahwa di beberapa lokasi telah terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, atau bila ada tidak berbuat apa-apa untuk mencegah atau meluasnya kerusuhan. Sebaliknya, para pejabat keamanan berkeyakinan tidak terjadi vakum kehadiran aparat keamanan, meskipun disadari kenyataan menunjukkan bahwa untuk lokasi tertentu masih tetap terjadi kerusuhan (di luar prioritias pengamanan), hal ini disebabkan terbatasnya kekuatan pasukan. Selama 15 tahun sudah kejadian ini berlalu, namun hingga kini belum ada kejelasan hukum atas tragedi kemanusiaan tersebut. Yang tewas tinggal jadi cerita, yang menjadi korban tinggal menyisakan trauma, sedangkan si pelaku kerusukan atau provokator hingga kini entah ke mana. Catatan yang sangat singkat ini bukan untuk menyajikan investigasi fakta baru, melainkan sekadar untuk mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah kelabu yang hingga kini belum tuntas pengusutannya.