20 Tahun Baru Dieksekusi Mati

JAKARTA – Proses berbelit menuju eksekusi hukuman mati membuat daftar antrean narapidana mati menjadi panjang. Hal itu terjadi pada tiga ter pidana mati yang baru dieksekusi kemarin dini hari (17/5) di Pulau Nusakambangan. Ketiganya adalah Suryadi Swabuana, Jurit bin Abdullah, dan Ibrahim bin Ujang. Mereka baru dieksekusi setelah divonis belasan tahun lalu.Ketiga terpidana asal Sumsel itu bergantian menghadapi regu tembak dari Brimob Polda Jateng sekitar pukul 00:00 di bekas bangunan Lapas Nirbaya, Pulau Nusakambangan. Beberapa jam setelah dieksekusi, mereka dibawa keluar dari Nusakambangan menggunakan ambulans.

Mereka dimakamkan secara terpisah. Suryadi dimakamkan di Cilacap atas persetujuan keluarga. Sementara, Jurit dan Ibrahim atas permintaan keluarga dibawa pulang untuk dimakamkan di Palembang, daerah asal mereka. Suryadi, Jurit, dan Ibrahim divonis bersalah dalam kasus pembunuhan di Sumatera Selatan pada medio 1990-an.Suryadi merupakan pelaku kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di kawasan Pupuk Sriwijaya, Palembang, pada 1991. Dia divonis mati setahun kemudian. Sedangkan, Jurit dan Ibrahim terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap seorang warga setempat bernama Soleh pada 1997. Keduanya divonis pada 1998, dan Mahkamah Agung pada 2003 menolak peninjauan kembali yang mereka ajukan. Jika dirunut, Suryadi baru dieksekusi 20 tahun setelah mendapat vonis. Sedangkan, Jurit dan Ibrahim harus menunggu 14 tahun sejak mereka divonis mati.Jaksa Agung Basrief Arief mengakui proses hukuman mati di Indonesia sangat panjang dan berbelit. “Ini yang menjadi persoalan kita semua. Makanya, kami diminta menginventarisasi terpidana mati,” ujarnya kemarin.Menurut Basrief, dalam proses inventarisasi tersebut, pihaknya harus melihat terlebih dahulu apakah hak-hak terpidana sudah terpenuhi seluruhnya. Terutama, terkait dengan upaya hukum yang masih mungkin dilakukan mulai banding, kasasi, hingga PK. Apalagi jika terpidana mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni grasi presiden. “Kalau sudah terpenuhi (seluruhnya) baru kami bisa laksanakan (eksekusi),” lanjut Basrief.Proses eksekusi dimulai dengan penunjukan regu tembak dari Brimob oleh jaksa eksekutor.Rujukannya ada pada Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer.Dalam regulasi tersebut, regu tembak terdiri dari satu bintara dan 12 tamtama yang dipimpin komandan regu berpangkat perwira. Setelah persiapan usai, regu tembak mengambil jarak antara lima sampai 10 meter dari terpidana. Kemudian, mereka membidikkan senjata ke arah jantung dengan komando jaksa eksekutor melalui isyarat pedang.Satu sentakan pedang ke bawah, tembakan langsung dilepaskan sekali ke jantung secara serentak. Perwira komandan regu harus memastikan terpidana telah meninggal usai ditembak. Jika ada tanda terpidana belum meninggal, bintara regu tembak maju dan menembak terpidana dari jarak dekat kepala bagian samping. Jaksa juga menyiapkan seorang dokter untuk memastikan apakah terpidana telah meninggal.Dengan dieksekusinya tiga terpidana tersebut, sudah empat dari 10 terpidana yang rencananya dieksekusi mati tahun ini. Kejagung masih memiliki tanggungan enam terpidana yang bakal menjalani hukuman. Berdasarkan data Kejagung, secara keseluruhan ada 111 orang narapidana yang divonis hukuman mati. Mereka terdiri dari 60 orang narapidana kasus pembunuhan, 49 narkoba, dan dua napi kasus terorisme.Basrief menambahkan, eksekusi pidana mati berbeda dengan pidana lain yang bisa diekspos dengan lebih terbuka. “Eksekusi (mati) tidak bisa dipertontonkan,” tambahnya. Karena itu, publik baru bisa mengetahui jika ada pelaksanaan eksekusi mati setelah regu tembak menjalankan tugasnya.